Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD turut menanggapi soal ramainya politik uang dan politik dinasti menjelang Pilkada Serentak 2020. Terkait praktik politik uang atau money politic, Mahfud menuturkan hal tersebut akan tetap ada. Baik dalam sistem pemilihan umum langsung maupun tidak langsung.
Menurutnya, praktik politik uang dalam pemilihan tidak langsung diberikan ke partai partai. Sementara dalam pemilihan langsung diberikan secara eceran kepada masyarakat. Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi daring "Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal", Sabtu (5/9/2020).
"Bahkan saya tulis di salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (sewaktu jadi Ketua Hakim MK), sama saja sebenarnya kalau money politic." ujar Mahfud MD, dikutip . "Kalau pilihan langsung kepada rakyat itu money politic nya eceran, kalau lewat DPRD itu borongan. Kita bayar ke partai, selesai." "Kalau ke rakyat seperti sekarang ya, bayar ke rakyat pakai amplop satu per satu," imbuh Mahfud MD.
Karena itu, menurutnya perdebatan soal maraknya praktik politik uang dalam pemilihan langsung tak sepenuhnya relevan. Sebab, bagaimanapun sistem pemilihan langsung memiliki sisi positif bagi praktik demokrasi. Ia menuturkan, setidaknya pertentangan ideologis yang mengemuka di tingkat pusat dapat dibantah dengan koalisi parta partai di tingkat daerah.
Pasalnya partai partai lebih mengedepankan cara agar calon menang pemilu. "Kalau kita lihat sekarang, tidak ada koalisi parpol yang linier dari pusat ke daerah." "Misalnya PAN dengan PKS itu di atas tidak cocok, di daerah tertentu bergabung."
"Demokrat dengan PAN di pusat tidak cocok, di bawah bergabung. PDI P dengan PKS di daerah tertentu bergabung," kata Mahfud. "Itu bagus, jadi tidak ada satu koalisi atau oposisi permanen, terutama tidak ada lagi pengelompokan ideologis, ini Islam, sekuler, atau nasionalis," tuturnya. Sementara itu, terkait dengan ramainya politik dinasti menjelang Pilkada 2020, Mahfud mewajarkan.
Sebab, tidak ada hukum yang mengatur seorang kerabat pejabat publik tidak boleh maju diri sebagai calon kepala daerah. Mahfud mengatakan, praktik nepotisme atau kekerabatan memang tidak bisa dihindari. Termasuk dalam gelaran Pilkada 2020 yang akan digelar pada 9 Desember mendatang.
"Mungkin kita sebagian besar tidak suka dengan nepotisme." "Tetapi harus kita katakan, tidak ada jalan hukum atau jalan konstitusi yang bisa menghalangi orang itu mencalonkan diri berdasarkan nepotisme atau sistem kekeluargaan sekalipun," kata Mahfud. Bahkan, lanjut Mahfud, hal ini berlaku di seluruh dunia.
Menurutnya di negara lain pun, tidak ada yang mengatur larangan praktik kekerabatan dalam politik. Adapun ia menjelaskan, praktik politik kekerabatan ini tidak melulu bertujuan buruk. "Dulu di suatu kabupaten di Bangkalang, pernah orang berteriak, 'saya mau mencalonkan diri karena kakak saya memerintahnya tidak baik." "Karena itu jangan dituduh saya nepotis, tapi karena kakak saya tidak baik'," tutur Mahfud.
"Jadi belum tentu orang nepotisme niatnya selalu jelek," tuturnya, masih dikutip . Mahfud menyebutkan, salah satu aturan tentang larangan nepotisme yang dapat dicontoh yaitu peraturan yang pernah dibuat di zaman pemerintahan Belanda. Kala itu, ada aturan keluarga pejabat pemegang suatu proyek tidak boleh ikut terlibat. "Itu dulu ada di zaman Belanda, mudah mudahan nanti di sini ada yang mengusulkan begitu untuk menghindari nepotisme di bidang ekonomi," ujar Mahfud.
"Saya kira di mana mana tidak bisa dihalangi oleh hukum dan konstitusi. Kita tidak bisa melarangnya. Itu fakta," pungkasnya.